Perasaan Benci yang Menjadi Cinta yang Tulus
Ayah saya adalah seorang wiraswasta, namun dulunya iya adalah seorang musisi, tepatanya adalah pemain drum. Hobby nya dulu adalah bermain musik yang dijalani dengan serius sehingga menjadi salah satu profesi yang dijalaninya ketika dan sambil menjalani kuliahnya dulu. Sejak dulu ayah saya selalu berharapan agar anak – anaknya juga menyukai musik sepertinya. Beliau memaksa saya untuk terbiasa didalam studio, mendengarkan musik dan men “sekolah” musikan saya dari dulu. Pada awalnya saya tidak suka dengan semua itu karena beberapa alasan. Berikut ini adalah 2 hal yang menjadi alasan utama saya kenapa menjadi seperti itu.
Pertama, kurang lebih ketika saya berumur 5 tahun, saya untuk pertama kalinya merasakan kambuhnya penyakit kelainan jantung yang ternyata memang saya miliki. Semenjak itu daya tahan tubuh saya memang bisa dibilang tidak sekuat anak – anak lainnya. Dampaknya, setiap saya berada distudio atau mendengar sesuatu yang terlalu keras, jantung saya sering bereaksi lebih keras dan cepat secara tidak normal. Walaupun demikian, Ayah saya bermaksud membuat saya untuk terbiasa dengan keadaan tersebut, karena ayah saya selalu berpegang teguh pada suatu pepatah ”alah bisa karena biasa”(dengan izin dokter dahulu pastinya). Saya sangat memahami maksud dan tujuannya sangat baik tapi karena pada saat itu saya masih kecil dan memang terkadang lumayan sakit, jadi saya sering merasa sebal jika harus ikut Ayah saya ke studio. Kedua., ketika umur 7 tahun saya untuk pertama kalinya pula di ikutkan ke les piano. Pada dasarnya saya memang tidak suka dengan alat musik piano tapi keadaan itu ditambahkan pula dengan saya di les kan di guru yang sangat galak dan tidak sabaran, membuat saya sangat membenci musik pada saat itu. Keadaan ”ogah – ogah”an seperti ini saya lalui slama kurang lebih 7 tahun. Tapi semua itu tetap saya usahakan untuk berjalan untuk menyenangkan ayah saya sambil berharap semoga suatu saat paling tidak ada manfaatnya untuk saya nanti.
Pada ahirnya walaupun saya tetap tidak bisa bermain piano layaknya anak yang belajar serius selama 7 tahun, namun dari sini merupakan batu pijakan saya untuk memahami musik dan wawasannya dengan lebih mendalam. Ketika saya SMP baru lah saya tersadar, terbuka rasa suka saya terhadap musik. Walaupun pada saat itu bukan piano yang saya suka, melainkan drum seperti ayah saya. Bahkan awalnya Ayah saya melarang untuk saya belajar drum. Awalnya saya sempat bingun mengapa yang tadinya saya dipaksa untuk menyukai musik, dan ahirnya telah saya temui apa yang saya cari namun malah dilarang. Tapi dari perasaan benci akan larangan tersebut justru makin memacu saya untuk belajar secara otodidak, dan saya sangat –sangat mencintainya sampai sekarang. Saat ini saya merasa tidak bisa hidup tanpa musik dan drum. Akhirnya setelah ayah saya melihat perkembangan dan usaha saya namun beliau pun sekarang sangat mendukung, dan saya sangat – sangat bersyukur akan hal itu. Saya sangat berterima kasih untuk dulunya dipaksa untuk terbiasa dengan musik, dan paksaan tentang piano yang walaupun pada ahirnya saya tidak menjadi pemain piano yang cukup baik, namun banyak sekali pelajaran dasar – dasar bermusik yang bisa saya ambil dari situ.
Usaha Ayah saya untuk memaksakan hal – hal tersebut membuat saya sangat bersyukur, karena menurut saya, saya sangat beruntung telah mengalami semua ini. Dan hal yang bisa saya pelajari dari pengalaman saya saat ini ialah tidak ada sesuatu yang tidak bisa terjadi di dunia ini asalkan adanya usaha yang keras dan kemauan yang kuat. Bila semua itu telah dilakukan Allah pasti akan menunjukan jalan walaupun terkadang jalan itu terkesan samar ataupun membutuhkan waktu, tapi pasti ada makna di balik semua itu.Dan seandainya dari dulu saya tahu sebagaiman saya akan mencintai musik seperti sekarang, saya tidak akan menyia-nyiakan usaha yang telah dilakukan Ayah saya untuk menggapai mimpi ini.

No comments:
Post a Comment